Sabtu, 03 Januari 2015

OTORITER : POLA ASUH PEMBELENGGU KREATIVITAS ANAK BERBAKAT



OTORITER : POLA ASUH PEMBELENGGU KREATIVITAS
ANAK BERBAKAT

Prima Dea Pangestu, 1204582
Pendidikan Khusus/B

Kerentanan anak berbakat dengan karakteristik khasnya yang dapat menyebabkan mereka mengalami masalah baik dengan baik sendiri maupun dengan dunia luar. Anak berbakat kreatif dengan daya imajinasi yang kuat, pemikiran yang orisinal, kemandirian, dan minat yang luas dapat melibatkan diri secara intensif dalam berbagai masalah dan menghasilkan proyek dan produk yang menarik. Di pihak lain, ciri–ciri mereka untuk mempertanyakan, bersikap kritis, ketidakpuasan dengan otoritas, kebosanan dengan tugas–tugas rutin, dan kemampuan untuk “melihat dari sudut tinjau lain” dan “selalu melihat kemungkinan lain” dapat mengakibatkan ketegangan dan ketidaknyamanan dalam hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya.
Anak yang kreatif umumnya mempunyai banyak ide baru, sebagian dari ide ini aneh-aneh tetapi ada juga yang sangat orisinil dan baik untuk umurnya. Ia sering memberikan jawaban yang tidak biasa terhadap pertanyaan biasa, memberikan saran yang unik untuk menyelesaikan masalah (Sobur, 1989, hlm. 267 dalam Rahmawati, 2007, hlm. 11).
Banyak faktor yang mempengaruhi kreativitas, diantaranya faktor waktu, kesempatan menyendiri, dorongan, sarana, lingkungan yang merangsang, hubungan, pola asuh, cara mendidik anak dan kesempatan memperoleh pengetahuan (Hurlock, 1999, hlm. 9 dalam Rahmawati, 2007, hlm.9). Pola asuh orang tua yang tepat akan mengoptimalkan kreativitas anak. Sudah lebih dari 30 tahun pakar psikologis menemukan bahwa sikap dan nilai orang tua berkaitan erat dengan kreativitas anak. Jika kita menggabung hasil penelitian lapangan dengan penelitian laboratorium mengenai kreativitas dan dengan teori-teori psikologis, kita memperoleh petunjuk bagaimana sikap orangtua secara langsung mempengaruhi kreativitas anak mereka (Amabile, 1989, hlm. 103, dalam Munandar, 2012, hlm. 92).
Torrance menekankan pentingnya dukungan dan dorongan dari lingkungan keluarga dalam mengasuh anak agar individu dapat berkembang kreativitasnya (Asrori, 2007). Kreativitas tersebut juga dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan orang tua, pola asuh orang tua, ketersediaan fasilitas, dan penggunaan waktu luang (Munandar, 1988 yang dikutip oleh Asrori, 2007). Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal (Papalia, 2008).
Ada beberapa macam pola asuh orangtua, diantaranya adalah pola asuh otoriter. Menurut Hurlock (1999, hlm. 93, dalam Rahmawati, 2007, hlm. 11) yang menggunakan istilah pola pengasuhan pada pola asuh otoriter, orangtua memberikan perlakuan dan aturan-aturan yang kaku dan ketat yang dipergunakan sebagai pengontrol tingkah laku anak dan anak harus bertingkah laku sesuai dengan aturan yang telah diterapkan oleh orangtua. Anak harus patuh, tunduk dan tidak ada pilihan lain sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Orangtua tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat anak, orangtua tetap mengambil dan menentukan keputusan, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa alasan dan jarang memberikan hadiah. Orangtua hanya mengatakan apa yang harus dilakukan anak, tetapi tidak menjelaskan mengapa anak harus melakukan sesuatu dan tidak boleh melakukan yang lain. Pola asuh otoriter dicirikan dengan kendali terhadap anak mutlak di tangan orangtua, komunikasi satu arah dari orangtua ke anak (Harini, 1998, hlm.20, dalam Rahmawati, 2007, hlm. 11).
Petranto (2005, dalam Rahmawati, hlm. 11) menyebutkan bahwa pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Amaliya (2006, dalam Rahmawati, hlm. 11) menambahkan bahwa hasil dari gaya pengasuhan yang otoriter akan menghasilkan individu yang seringkali cemas akan perbandingan sosial, gagal memprakarsai kegiatan, memiliki keterampilan komunikasi yang rendah dan disiplin awal yang terlalu kasar yang sering diasosiasikan dengan agresi.
Kartini, (1985, hlm.98) dalam bukunya Bimbingan Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa, anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-lama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada, maka setelah dewasapun masih akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak tidak berani memikul tanggung jawab.
Pembelengguan dari kreativitas anak akibat pola asuh yang otoriter diperkuat oleh Rahman (Koran Seputar Indonesia, Selasa 20 Mei 2006, hlm. 29 dalam Rahmawati, 2007, hlm 12), menyebutkan bahwa orangtua yang otoriter mengakibatkan anak menjadi kurang inisiatif. Selain itu, orangtua yang otoriter, banyak yang tidak dapat menerima pendapat anaknya sehingga anak kurang kreatif dan komunikatif.
Rahmawati (2007, hlm. 12) menyebutkan bahwa pada tahun 1997, Munandar pernah melakukan studi untuk melihat hubungan antara beberapa peubah lingkungan keluarga dan kinerja anak, termasuk intelegensi, kreativitas dan prestasi belajar pada anak berbakat. Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari penelitian ini, yakni terlalu banyak ikut campur dari pihak orangtua, misalnya terhadap cara berbicara anak, minat anak terhadap membaca, dalam menentukan peraturan di rumah, tidak menghasilkan tingkat kinerja yang lebih tinggi dari kreativitas. Hal tersebut dapat dikatakan memperkuat teori-teori dimana kreativitas dikonsepsikan sebagai bertentangan dengan sifat otoriter. Kreativitas dapat juga berkembang dalam suasana non-otoriter yang memungkinkan individu berfikir dan menyatakan diri secara bebas dan dimana sumber dari pertimbangan evaluatif adalah internal (Munandar, 1990, hlm. 97 dalam Rahmawati, 2007, hlm. 12).
Kreativitas yang merupakan salah satu komponen penentu anak berbakat menurut Renzulli menjadi hal yang penting untuk mengembangkan dan meningkatkannya. Anak berbakat yang dicirikan dengan dimilikinya kreativitas tinggi yang merupakan potensi sejak lahir hendaknya terus selalu dikembangkan terutama oleh lingkungan sekitar seperti orangtua. Pola asuh menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan perkembangan kreativitas dari anak berbakat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah tersebut diatas, bahwasannya pola asuh yang otoriter terhadap anak berbakat dapat membelenggu kreativitasnya. Anak berbakat yang dicirikan memiliki ide/gagasan/pendapat yang tidak biasa dalam artian bagus dan berbeda dari anak pada umumnya akan terhambat dalam pengembangan kreativitasnya jika diberikan pola asuh oleh orangtua yang otoriter. Otoriter menjadi pola asuh yang sangat tidak menunjang terhadap perkembangan kreativitas anak, terutama anak berbakat. Sehingga pola asuh yang otoriter haruslah dihilangkan dari pembentukan perkembangan dalam kreativitas anak.
Munandar (2012, hlm. 94) menyebutkan bahwa dari berbagai penelitian diperoleh hasil bahwa sikap orang tua yang dapat memupuk kreativitas anak adalah sebagai berikut:
·      Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya;
·      Memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal;
·      Membiarkan anak mengambil keputusan sendiri;
·      Mendorong kemelitan anak, untuk menjajaki dan mempertanyakan banyak hal;
·      Meyakinkan anak bahwa orangtua menghargai apa yang ingin dicoba dilakukan, dan apa yang dihasilkan;
·      Menunjang dan mendorong kegiatan anak;
·      Menikmati keberadaannya bersama anak;
·      Memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak;
·      Mendorong kemandirian anak dalam bekerja;
·      Melatih hubungan kerja sama yang baik dengan anak;
Sikap-sikap seperti tesebut di atas lah yang harus diberikan oleh orangtua terhadap anak untuk menunjang pengembangan kreatvitas anak tersebut. Selain itu, pola asuh yang diberikan menjadi pola asuh yang lebih demokratis jika ditunjang dengan sikap-sikap tersebut di atas.
Hal ini sejalan dengan yang diungkap oleh Munandar (2012, hlm. 85), yang mana pada tahun 1982 telah melakukan studi perbandingan di Jakarta antara keluarga dengan IQ di atas 130 dan keluarga anak dengan IQ pada taraf rata-rata mengenai keadaan keluarga anak berbakat intelektual bila dibandingkan dengan keluarga anak yang mempunyai kecerdasan rata-rata. Dari hasil penelitian tersebut, Munandar (2012, hlm. 86) menyebutkan bahwa mayoritas orangtua dari kelompok anak dalam mendidik anak tidak terlalu menekankan pada peraturan yang ketat, juga tidak terlalu memberi kebebasan, akan tetapi menentukan peraturan dengan mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan anak, dengan kata lain tidak ekstrem otoriter tetapi juga tidak terlalu “laissez-faire”.
Berdasarkan tinjauan teori dan berbagai jurnal hasil penelitian yang relevan terkait pola asuh dan hubungannya dengan kreativitas, maka dapat disimpulkan bahwa memang salah satu faktor yang dapat berpengaruh dalam pengembangan kreativitas anak adalah pola asuh. Otoriter, merupakan salah satu tipe pola asuh yang diberikan sebagian orangtua kepada anaknya, dimana pola asuh tersebut dapat membelenggu kreativitas anak. Dengan demikian, diharapkan orangtua lebih memperhatikan pola asuh yang diberikan, sehingga tidak menghambat perkembangan kreativitas terutama kreativitas anak berbakat dan seharusnya justru memberikan pola asuh disertai sikap yang dapat mengembangkan kreativitas terutama kreativitas anak berbakat.

Daftar Pustaka
Diana, Rachmy. R. 2006. Setiap Anak Cerdas! Setiap Anak Kreatif! Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol. 33 No. 2 Desember 2006. [Online] Tersedia:http://download.portalgaruda.org/article.php?article=22016&val=1286

Kartono, Kartini. 1985. Bimbingan Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi. Jakarta: CV Rajawali. [Online] Tersedia : http://digilib.uinsby.ac.id/9072/5/Bab%202.pdf

Munandar, Utami. 2012. Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat. Jakarta : PT Rineka Cipta

Rahmawati, Cendi Fitriana. 2007. Kreativitas Verbal Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter. [Online] Tersedia: http://eprints.unika.ac.id/941/1/02.40.0146_Cendi_Fitriana_Rahmawati.pdf

Teviana, Fenia & Yusiana, Maria Anita.____. Pola Asuh Orangtua Terhadap Tingkat Kreatifitas Anak. Jurnal STIKES Volume 5 No. 1, Juli 2012. [Online] Tersedia :http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4234&val=360