OTORITER
: POLA ASUH PEMBELENGGU KREATIVITAS
ANAK
BERBAKAT
Prima
Dea Pangestu, 1204582
Pendidikan
Khusus/B
Kerentanan anak
berbakat dengan karakteristik khasnya yang dapat menyebabkan mereka mengalami
masalah baik dengan baik sendiri maupun dengan dunia luar. Anak berbakat
kreatif dengan daya imajinasi yang kuat, pemikiran yang orisinal, kemandirian,
dan minat yang luas dapat melibatkan diri secara intensif dalam berbagai
masalah dan menghasilkan proyek dan produk yang menarik. Di pihak lain, ciri–ciri
mereka untuk mempertanyakan, bersikap kritis, ketidakpuasan dengan otoritas,
kebosanan dengan tugas–tugas rutin, dan kemampuan untuk “melihat dari sudut
tinjau lain” dan “selalu melihat kemungkinan lain” dapat mengakibatkan
ketegangan dan ketidaknyamanan dalam hubungan dengan orang dewasa dan teman
sebaya.
Anak yang kreatif
umumnya mempunyai banyak ide baru, sebagian dari ide ini aneh-aneh tetapi ada
juga yang sangat orisinil dan baik untuk umurnya. Ia sering memberikan jawaban
yang tidak biasa terhadap pertanyaan biasa, memberikan saran yang unik untuk
menyelesaikan masalah (Sobur, 1989, hlm. 267 dalam Rahmawati, 2007, hlm. 11).
Banyak faktor yang
mempengaruhi kreativitas, diantaranya faktor waktu, kesempatan menyendiri,
dorongan, sarana, lingkungan yang merangsang, hubungan, pola asuh, cara
mendidik anak dan kesempatan memperoleh pengetahuan (Hurlock, 1999, hlm. 9
dalam Rahmawati, 2007, hlm.9). Pola asuh orang tua yang tepat akan mengoptimalkan
kreativitas anak. Sudah lebih dari 30 tahun pakar
psikologis menemukan bahwa sikap dan nilai orang tua berkaitan erat dengan
kreativitas anak. Jika kita menggabung hasil penelitian lapangan dengan
penelitian laboratorium mengenai kreativitas dan dengan teori-teori psikologis,
kita memperoleh petunjuk bagaimana sikap orangtua secara langsung mempengaruhi
kreativitas anak mereka (Amabile, 1989, hlm. 103, dalam Munandar, 2012, hlm.
92).
Torrance menekankan
pentingnya dukungan dan dorongan dari lingkungan keluarga dalam mengasuh anak
agar individu dapat berkembang kreativitasnya (Asrori, 2007). Kreativitas
tersebut juga dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan orang tua, pola asuh
orang tua, ketersediaan fasilitas, dan penggunaan waktu luang (Munandar, 1988
yang dikutip oleh Asrori, 2007). Pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik
yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa
tanggung jawab kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak
baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan
individu. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu
menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap
positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan
rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal (Papalia, 2008).
Ada beberapa macam pola
asuh orangtua, diantaranya adalah pola asuh otoriter. Menurut Hurlock (1999,
hlm. 93, dalam Rahmawati, 2007, hlm. 11) yang menggunakan istilah pola
pengasuhan pada pola asuh otoriter, orangtua memberikan perlakuan dan
aturan-aturan yang kaku dan ketat yang dipergunakan sebagai pengontrol tingkah
laku anak dan anak harus bertingkah laku sesuai dengan aturan yang telah
diterapkan oleh orangtua. Anak harus patuh, tunduk dan tidak ada pilihan lain
sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Orangtua tidak mempertimbangkan
pandangan dan pendapat anak, orangtua tetap mengambil dan menentukan keputusan,
tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa alasan dan jarang
memberikan hadiah. Orangtua hanya mengatakan apa yang harus dilakukan anak,
tetapi tidak menjelaskan mengapa anak harus melakukan sesuatu dan tidak boleh melakukan
yang lain. Pola asuh otoriter dicirikan dengan kendali terhadap anak mutlak di
tangan orangtua, komunikasi satu arah dari orangtua ke anak (Harini, 1998,
hlm.20, dalam Rahmawati, 2007, hlm. 11).
Petranto (2005, dalam
Rahmawati, hlm. 11) menyebutkan bahwa pola asuh otoriter akan menghasilkan
karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar
menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
Amaliya (2006, dalam Rahmawati, hlm. 11) menambahkan bahwa hasil dari gaya
pengasuhan yang otoriter akan menghasilkan individu yang seringkali cemas akan
perbandingan sosial, gagal memprakarsai kegiatan, memiliki keterampilan
komunikasi yang rendah dan disiplin awal yang terlalu kasar yang sering
diasosiasikan dengan agresi.
Kartini, (1985, hlm.98)
dalam bukunya Bimbingan Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa,
anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami
perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif
jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang
dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua akan menekan
daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba,
dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak
dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan
pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman-temannya dalam segala hal,
sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama-lama ia akan mempunyai
perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena
kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada, maka setelah dewasapun masih akan
terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak tidak
berani memikul tanggung jawab.
Pembelengguan dari
kreativitas anak akibat pola asuh yang otoriter diperkuat oleh Rahman (Koran
Seputar Indonesia, Selasa 20 Mei 2006, hlm. 29 dalam Rahmawati, 2007, hlm 12),
menyebutkan bahwa orangtua yang otoriter mengakibatkan anak menjadi kurang
inisiatif. Selain itu, orangtua yang otoriter, banyak yang tidak dapat menerima
pendapat anaknya sehingga anak kurang kreatif dan komunikatif.
Rahmawati (2007, hlm.
12) menyebutkan bahwa pada tahun 1997, Munandar pernah melakukan studi untuk
melihat hubungan antara beberapa peubah lingkungan keluarga dan kinerja anak,
termasuk intelegensi, kreativitas dan prestasi belajar pada anak berbakat.
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari penelitian ini, yakni terlalu banyak ikut
campur dari pihak orangtua, misalnya terhadap cara berbicara anak, minat anak
terhadap membaca, dalam menentukan peraturan di rumah, tidak menghasilkan
tingkat kinerja yang lebih tinggi dari kreativitas. Hal tersebut dapat
dikatakan memperkuat teori-teori dimana kreativitas dikonsepsikan sebagai
bertentangan dengan sifat otoriter. Kreativitas dapat juga berkembang dalam
suasana non-otoriter yang memungkinkan individu berfikir dan menyatakan diri
secara bebas dan dimana sumber dari pertimbangan evaluatif adalah internal
(Munandar, 1990, hlm. 97 dalam Rahmawati, 2007, hlm. 12).
Kreativitas yang
merupakan salah satu komponen penentu anak berbakat menurut Renzulli menjadi
hal yang penting untuk mengembangkan dan meningkatkannya. Anak berbakat yang
dicirikan dengan dimilikinya kreativitas tinggi yang merupakan potensi sejak
lahir hendaknya terus selalu dikembangkan terutama oleh lingkungan sekitar
seperti orangtua. Pola asuh menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan
perkembangan kreativitas dari anak berbakat. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah tersebut diatas, bahwasannya pola asuh yang otoriter terhadap anak
berbakat dapat membelenggu kreativitasnya. Anak berbakat yang dicirikan
memiliki ide/gagasan/pendapat yang tidak biasa dalam artian bagus dan berbeda
dari anak pada umumnya akan terhambat dalam pengembangan kreativitasnya jika
diberikan pola asuh oleh orangtua yang otoriter. Otoriter menjadi pola asuh
yang sangat tidak menunjang terhadap perkembangan kreativitas anak, terutama
anak berbakat. Sehingga pola asuh yang otoriter haruslah dihilangkan dari
pembentukan perkembangan dalam kreativitas anak.
Munandar (2012, hlm.
94) menyebutkan bahwa dari berbagai penelitian diperoleh hasil bahwa sikap
orang tua yang dapat memupuk kreativitas anak adalah sebagai berikut:
· Menghargai
pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya;
· Memberi
waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal;
· Membiarkan
anak mengambil keputusan sendiri;
· Mendorong
kemelitan anak, untuk menjajaki dan mempertanyakan banyak hal;
· Meyakinkan
anak bahwa orangtua menghargai apa yang ingin dicoba dilakukan, dan apa yang
dihasilkan;
· Menunjang
dan mendorong kegiatan anak;
· Menikmati
keberadaannya bersama anak;
· Memberi
pujian yang sungguh-sungguh kepada anak;
· Mendorong
kemandirian anak dalam bekerja;
· Melatih
hubungan kerja sama yang baik dengan anak;
Sikap-sikap seperti
tesebut di atas lah yang harus diberikan oleh orangtua terhadap anak untuk
menunjang pengembangan kreatvitas anak tersebut. Selain itu, pola asuh yang
diberikan menjadi pola asuh yang lebih demokratis jika ditunjang dengan
sikap-sikap tersebut di atas.
Hal ini sejalan dengan
yang diungkap oleh Munandar (2012, hlm. 85), yang mana pada tahun 1982 telah
melakukan studi perbandingan di Jakarta antara keluarga dengan IQ di atas 130
dan keluarga anak dengan IQ pada taraf rata-rata mengenai keadaan keluarga anak
berbakat intelektual bila dibandingkan dengan keluarga anak yang mempunyai
kecerdasan rata-rata. Dari hasil penelitian tersebut, Munandar (2012, hlm. 86)
menyebutkan bahwa mayoritas orangtua dari kelompok anak dalam mendidik anak
tidak terlalu menekankan pada peraturan yang ketat, juga tidak terlalu memberi
kebebasan, akan tetapi menentukan peraturan dengan mempertimbangkan keadaan dan
kebutuhan anak, dengan kata lain tidak ekstrem otoriter tetapi juga tidak
terlalu “laissez-faire”.
Berdasarkan tinjauan
teori dan berbagai jurnal hasil penelitian yang relevan terkait pola asuh dan
hubungannya dengan kreativitas, maka dapat disimpulkan bahwa memang salah satu
faktor yang dapat berpengaruh dalam pengembangan kreativitas anak adalah pola
asuh. Otoriter, merupakan salah satu tipe pola asuh yang diberikan sebagian
orangtua kepada anaknya, dimana pola asuh tersebut dapat membelenggu
kreativitas anak. Dengan demikian, diharapkan orangtua lebih memperhatikan pola
asuh yang diberikan, sehingga tidak menghambat perkembangan kreativitas
terutama kreativitas anak berbakat dan seharusnya justru memberikan pola asuh
disertai sikap yang dapat mengembangkan kreativitas terutama kreativitas anak
berbakat.
Daftar
Pustaka
Diana,
Rachmy. R. 2006. Setiap Anak Cerdas!
Setiap Anak Kreatif! Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol. 33 No. 2
Desember 2006. [Online] Tersedia:http://download.portalgaruda.org/article.php?article=22016&val=1286
Kartono,
Kartini. 1985. Bimbingan Belajar di SMA dan Perguruan Tinggi. Jakarta: CV
Rajawali. [Online] Tersedia : http://digilib.uinsby.ac.id/9072/5/Bab%202.pdf
Munandar,
Utami. 2012. Pengembangan Kreatifitas
Anak Berbakat. Jakarta : PT Rineka Cipta
Rahmawati,
Cendi Fitriana. 2007. Kreativitas Verbal
Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter. [Online] Tersedia: http://eprints.unika.ac.id/941/1/02.40.0146_Cendi_Fitriana_Rahmawati.pdf
Teviana,
Fenia & Yusiana, Maria Anita.____. Pola
Asuh Orangtua Terhadap Tingkat Kreatifitas Anak. Jurnal STIKES Volume 5 No.
1, Juli 2012. [Online] Tersedia :http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4234&val=360